"pekerjaan adalah sebuah jalan untuk menjadi manusia yang lebih baik"

Tuesday, December 7, 2010

Economic Development & Monetary and Fiscal Policies - APBN 2000 -

Posted by Prasetyo Utomo On 10:39 PM No comments


I. KONDISI PEREKONOMIAN DI INDONESIA

      1.      Pertumbuhan Ekonomi dan Iklim Investasi
Pemulihan perekonomian yang berlangsung sejak triwulan kedua dan ketiga tahun 1999 diperkirakan berlanjut dalam triwulan keempat tahun 1999, sehingga pertumbuhan ekonomi selama tahun anggaran 1999/2000 sekitar 1-2 persen. Selama tahun anggaran 2000, perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 3,8 persen. Dari sisi penggunaan, pertumbuhan diperkirakan bersumber dari peningkatan pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pemerintah serta dari ekspor.
Pemulihan yang terjadi pada penghasilan rumah tangga dan rasa kepercayaan yang berangsur-angsur pulih terhadap perekonomian, merupakan salah satu faktor penyebabpeningkatan belanja rumah tangga. Sementara itu, peningkatan pengeluaran pemerintah dikarenakan pembayaran kenaikan gaji pegawai negeri serta pelaksanaan program jarring pengaman social, berakibat pada meningkatnya rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDB menjadi 21,6 persen. Peningkatan ekspor terjadi Karena pertumbuhan ekonomi dunia yang relative membaik, daya saing produk Indonesia yang tetap kompetitif, dan perbaikan yang terjadi dalam sisi produksi. Sedangkan dilihat dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan tersebut diperkirakan bersumber terutama dari tiga sector terbesar yaitu sektor industri pengolahan, sektor pertanian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Kestabilan nilai rupiah dan harga yang berangsur normal telah meningkatkan kepercayaan para investor untuk menanmkan modalnya di pasar modal. Hal ini ditunjukkan oleh pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG), nilai transaksi saham serta nilai saham yang dimiliki investor asing. Meningkatnya nilai saham yang dimiliki investor asing tersebut merupakan salah satu indikator membaiknya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia/

2.      Indikator Makro: inflasi, nilai tukar, neraca pembayaran
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah dalam masa pemulihan setelah  krisis ekonomi bukanlah hal yang mudah. Untuk melakukan hal tersebut, otoritas moneter perlu melaksanakan kebijakan moneter yang hati-hati dan konsisten. Dalam kaitan ini, dilakukan penajaman sasaran-sasaran kuantitatif kebijakan moneter, meningkatkankeefektifan Operasi Pasar Terbuka (OPT), serta mengendalikan ekspansi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebagai pedoman arah kebijakan moneter ditetapkan sasaran kuantitaif base money dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu net internasional reserve dan net domestic assets, termasuk BLBI. Untuk meningkatkan transparansi kepada para pelaku pasa, berbagai sasaran tersebut serta kinerja pencapaiaannya diumumkan kepada public secara berkala.
Berbagai kebijakan di atas telah berhasil menstabilkan nilai tukar rupiah dan harga. Kestabilan nilai tukar rupiah dapat dilihat dari kecenderungan penguatan nilai rupiah serta fluktuasinya yang relative lebih kecil. Pada awalnya, nilai tukar rupiah cenderung melemah dan fluktuatif, terutama disebabkan banyaknya sentiment negative berupa ketidakpastian politik, masalah keamanan, dan beberapa masalah social,. Namun setelah arah politik Indonesia menjadi jelas dan keamanan mulai stabil, serta masalah social mulai berkurang, nilai tukar rupiah kembali menguat dan stabil. Hal tersebut karena kepercayaan terhadap rupiah yang pulih kembali, juga karena kebijakan moneter telah dapat digunakan secara lebih efektif untuk mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah.
Selain dapat membawa nilai tukar rupiah ke tingkat yang relative wajar dan stabil, berbagai upaya tersebut juga berhasil mengendalikan inflasi, yang pada tahun 1998 mencapai 77,6 persen.
      Sebelum krisis terjadi, neraca transaksi berjalan Indonesia selalu dalam keadaan defisit, sedangkan lalu lintas modal dalam keadaan surplus. Namun, pada tahun 1988, keadaan berbalik. Neraca transaksi berjalan menjadi surplus, sedangkan lalu lintas modal menjadi defisit. Neraca transaksi yang surplus tersebut terutama disebabkan oleh laju penurunan impor yang jauh lebih tinggi dari laju penurunan ekspor. Sedangkan lalu lintas modal yang defisit terutama disebabkan oleh aliran modal sektor swasta keluar yang lebih besar dari aliran modal masuk pemerintah.

3.      Indikator perbankan: perkembangan tabungan dan kredit perbankan
Salah satu penyebab keengganan perbankan dalam melakukan ekspansi kredit adalah masih tingginya risiko penyaluran kredit kepada dunia usaha di dalam negeri. Tingginya risiko tersebut tidak terlepas dari lambatnya proses restrukturisasi dunia usaha, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian hutang swasta nonbank. Tingginya risiko usaha juga disebabkan oleh kondisi sosial politik dan keamanan di dalam negeri yang belum stabil.
Selain mengurangi efektivitas kebijakan moneter, tersendatnya penyaluran kredit perbankan juga telah memperlambat pemulihan ekonomi nasional, khususnya yang terkait dengan kegiatan investasi swasta dan ekspor. Pada saat yang sama, sumber pendanaan luar negeri juga masih tersendat karena para investor luar negeri masih bersikap hati-hati dalam menunggu langkah-langkah nyata dari pemerintah dalam menyelesaikan berbagai masalah ekonomi dan politik di dalam negeri.
Di samping masalah terhambatnya aliran dana untuk usaha, masalah lain yang memperlambat proses pemulihan ekonomi Indonesia adalah fungsi fiscal stimulus yang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terlihat pada realisasi APBN 2000 yang mencatat surplus. Padahal, APBN 2000 telah dirancang untuk bersifat ekspansif dengan target defisit sekitar 4,8% dari PDB.7 Surplus realisasi APBN tersebut disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja pemerintah yang sampai dengan September 2000 hanya mencapai 51,8% dari anggaran, sementara realisasi penerimaan pemerintah pada periode yang sama sudah mencapai 68,9% dari anggaran.

4.      Indikator sosial: ketenagakerjaan dan tingkat kemiskinan
Dalam bulan November 1999 – Agustus 2000, tercipta lapangan kerja baru bagi 1,5 juta orang sehingga pengangguran terbuka menurun dari 11,9 juta orang (11,2 persen) menjadi 10,9 juta orang (10,3 persen), sampai akhir tahun 2000, jumlah pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,4 juta orang (10,6 persen dari total angkatan kerja) lebih tinggi dari jumlah pengangguran tahun 1999 yang sebesar 10,9 juta (10,3 persen dari total angkatan kerja). Peningkatan jumlah pengangguran ini diperkirakan akan menambah jumlah penduduk miskin yang tercatat sebesar 35,1 juta jiwa pada akhir tahun 2000.


II. FORMAT APBN TAHUN 2000
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2000 merupakan APBN transisi menuju era fiskal baru menyesuaikan dengan tahun takwim (kalender). Format dan struktur APBN yang selama ini disusun dalam bentuk tabel T (T-Account) berdasarkan prinsip anggaran berimbang dan dinamis, diubah menjadi anggaran defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Dalam format APBN baru ini telah dilakukan pengelompokan kembali (reklasifikasi) terhadap pos-pos pendapatan dan belanja negara. Perubahan struktur dan format APBN ini dimaksud selain untuk mempermudah dilakukannya analisis terhadap strategi kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah, juga akan membantu mempermudah dilakukannya analisis komparasi (perbandingan) antara perkembangan operasi fiskal Indonesia dengan operasi fiskal negara-negara lainnya. Selain itu, format baru APBN dimaksudkan juga untuk mempermudah dilakukannya analisis, pemantauan, dan pengendalian dalam pelaksanaan dan pengelolaan APBN.


III. ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL

1. Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal
Pokok-pokok kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah dalam tahun anggaran 2000 berpedoman pada arah kebijakan fiskal yang diamanatkan GBHN 1999-2004, yaitu:
Pertama: mengembangkan kebijakan fiskal dengan memperhatikan prinsip transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi, efektivitas, untuk menambah penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri.
Kedua: mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri pemerintah untuk kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan secara transparan, efektif, dan efisien.
Ketiga: menyehatkan anggaran pendapatan dan belanja negara dengan mengurangi deficit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran.

2. APBN 2000 diarahkan untuk mencapai enam sasaran strategis, yaitu:
Pertama: merefleksikan upaya ke arah pencapaian fiscal sustainability dengan cara:
-         menurunkan defisit anggaran sebagai persentase terhadap PDB dari 6,8 persen pada APBN 1999/2000 menjadi 5 persen pada tahun anggaran 2000
-         mengurangi pembiayaan (pinjaman) luar negeri bersih dari yang semula 4,4 persen dari PDB menjadi 2,0 persen dari PDB
-         memperkuat upaya peningkatan penerimaan negara yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri, agar ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri secara bertahap dapat dikurangi.
Kedua: mencerminkan upaya melanjutkan penciptaan stimulus fiskal, yang antara lain melalui penajaman prioritas alokasi anggaran pembangunan bagi program-program pemberdayaan masyarakat golongan ekonomi lemah.
Ketiga: mendukung program penyehatan sektor perbankan dengan penyediaan biaya bunga rekapitalisasi perbankan.
Keempat: dalam rangka mewujudkan fiscal sustainability, besarnya subsidi terutama yang tidak terarah pada kelompok sasaran, diusahakan untuk dikurangi secara bertahap, dan pada saat yang tepat akan dihapus. Penyediaan subsidi bagi beberapa komoditi strategis yang berkaitan dengan masyarakat luas, khususnya bagi masyarakat kurang mampu akan dilakukan secara lebih selektif dan transparan dengan mekanisme yang lebih baik agar benar-benar terarah langsung ke sasaran.
Kelima: memulai upaya dan langkah-langkah dalam memperbaiki gaji dan penghasilan aparat sektor public, seperti PNS, anggota TNI/POLRI, dan penerima pension, termasuk memperbaiki secara bertahap besarnya tunjanagn jabatan baik bagi para pejabat negara maupun pejabat pemerintahan.
Keenam: merefleksikan pra (awal) pelaksanaan UU Nomor 25 tahun 1999 dan sekaligus memperkuat pelaksanaan desentralisasi dan perwujudan otonomi daerah, di antaranya dengan memperbesar alokasi bantuan dana subsidi (transfer) kepada pemerintah daerah, baik berupa dana rutin daerah maupun danan pembangunan daerah.

 3. Indikator-indikator kebijakan fiskal
   Rasio Utang PDB
Kenaikan utang Indonesia yang signifikan terjadi setelah krisis moneter 1997/1998 lalu. Kenaikan ini terjadi dalam rangka untuk membiayai BLBI dan menyelamatkan perbankan nasional. Pada saat yang bersamaan, pelemahan rupiah terhadap dollar AS sebagai standar kurs utang waktu itu, membuat utang luar negeri kita berlipat-lipat dalam waktu singkat. Utang negara ini naik dari sekitar Rp 129 triliun pada tahun 1996 menjadi sekitar Rp 1.234 triliun pada tahun 2000, atau berlipat sepuluh kali lipat.
Sebagai masyarakat tentu kita harus mampu melihat secara kritis. Dalam hal utang tersebut, terkesan perhitungan utang per kapita dan nominal utang kita meningkat. Namun perlu dingat pengukuran yang sering digunakan untuk menganalisis utang luar negeri adalah membandingkannya dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengukuran rasio utang terhadap PDB merupakan normal practice yang umum digunakan dalam analisa ekonomi secara internasional. Karena utang luar negeri suatu negara dibutuhkan salah satunya untuk mengatasi masalah defisit anggaran negara maupun untuk menstimulus perekonomian. Dan PDB adalah indikator yang tepat untuk mengukur besaran aktivitas perekonomian yang ikut distimulus, salah satunya oleh utang tersebut. Berdasarkan rasio utang luar negeri terhadap PDB, posisi utang Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini tercatat turun tajam, yaitu sekitar 88% pada tahun 2000

   Rasio Perpajakan terhadap PDB
Tax ratio atau perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB) menunjukkan besar bagian PDB yang bisa ditarik kembali sebagai pajak oleh negara. Tax ratio juga bisa menjadi parameter untuk melihat seberapa produktif sistem perpajakan suatu negara dalam mengumpulkan penerimaan negara, dimana semakin tinggi (rendah) nilai tax ratio, menjadi tolok ukur semakin maju (rendah) sistem perpajakan negara tersebut.
Karena sifat pungutan pajak yang membebani pengusaha dan tidak adanya imbal balik (kontra prestasi) secara langsung, masyarakat cenderung menghindari kewajiban pajak. SPT sebagai sebuah pertanggungjawaban WP atas perhitungan pajak diisi seadanya saja. Asalkan transaksi-transaksi yang terintegrasi dengan instansi/lembaga lain sudah dilaporkan, WP merasa cukup. Sementara itu, transaksi-transaksi yang tidak terpantau cenderung disembunyikan.
Saat ini Indonesia memiliki rasio pajak terendah kedua setelah Myanmar diantara negara-negara Asean. Rata-rata rasio pajak yang dimiliki Indonesia semenjak 1985-1999 adalah 11,31%, jauh di bawah Singapura (22,24%), Malaysia (20,17%), Thailand (17,28%) dan Filipina (14%).
Ketika UU Perpajakan direvisi kembali pada tahun 1994, rasio pajak yang dicapai juga hanya berkisar 12%. Yang lebih memprihatinkan, rasio pajak tahun 1997/1998, 1998/1999 dan 1999/2000 terus mengalami penurunan menjadi 11,4%, 9,7% dan 7,7%.
Coverage ratio atau perbandingan antara penerimaan pajak RIIL dibanding POTENSI pajak yang sebenarnya ada, menggambarkan tingkat kejujuran wajib pajak dalam menjalankan kewajibannya. endahnya nilai tax coverage ratio mengindikasikan adanya banyak kewajiban pajak yang lolos dari penjaringan pajak. Sebagai gambaran, besar tunggakan pajak sampai pertengahan tahun 2000 yang lalu mencapai lebih kurang Rp 14 triliun.
Penerapan Self Asessement sebenarnya bisa efisien dan efektif jika pelaksanaannya disertai mekanisme kontrol yang baik yang didukung dengan sebuah database yang komprehensif. Logikanya jelas, jika wajib pajak X membayar sejumlah A maka Direktorat Jendral Pajak harus dapat membuktikan bahwa memang hutang pajak X adalah sejumlah A. Bagaimana caranya? Tentunya dengan sebuah komparasi data. Direktorat Pajak tidak dapat memeriksa ulang kewajiban wajib pajak tanpa basis data yang jelas.

   Kesimbangan Primer APBN
Dalam tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu keseimbangan primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Rasio keseimbangan primer terhadap PDB merupakan rasio yang mampu menunjukkanseberapa besar kemampuan anggaran pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Perubahan mendasar kesinambungan fiskal, yang mengarah pada situasi unsustainable, dicerminkan dari:
(a) merosotnya nilai Rupiah yang mengakibatkan melonjaknya rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dari 22,7% pada tahun 1996/97 menjadi 68,1%;
(b) defisit yang semula direncanakan sebesar 8,5% PDB tidak terjadi. Namun demikian, penyerapan pinjaman cukup tinggi pada tahun 1998/99. Meskipun demikian, nilai pinjaman luar negeri/PDB menurun karena besarnya pertumbuhan PDB nominal yang didorong oleh besarnya laju PDB deflator (laju inflasi yang tinggi);
(c) munculnya pinjaman dalam negeri mulai tahun 1998/99 yang kemudian meningkat pada tahun berikutnya sehingga rasio pinjaman/PDB melonjak dua kali lipat menjadi sekitar 100% PDB pada tahun 2000. Hal ini menunjukkan persoalan pinjaman dalam negeri yang besar;
(d) keseimbangan primer tercatat lebih kecil dari pembayaran bunga. Dalam keadaan demikian, kondisi fiskal akan berkesinambungan jika pertumbuhan ekonomi melebihi tingkat suku bunga riil dalam jumlah yang cukup. Pada kenyataannya, hal ini tidak terjadi sehingga kondisi fiskal mengarah pada ketidaksinambungan

IV. KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

Kebijakan fiskal dan moneter tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan ekonomi suatu negara.  Adapun bentuk koordinasi di antara dua kebijakan tersebut adalah:
1.    Pemantapan koordinasi untuk menjaga sasaran bersama
2.    Harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal untuk mengoptimalkan pertumbuhan
3.    Mengendalikan likuiditas perekonomian dengan mengupayakan:
·        Suku bunga yang secara riil mampu menjaga kepercayaan terhadap Rupiah
·        Mengurangi tekanan inflasi
·        Penyediaan insentif untuk mendukung percepatan sektor riil

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing-masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Keempat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing-masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiskal. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrument.



0 comments:

Post a Comment